MAQOMAT TAUBAT DAN SABAR UNTUK MERAIH MAH'RIFAT TUHAN

Oleh : Rilis_Wahyu
Email : riliswahyu87654@gmail.com

Untuk kali ini Rilis_Wahyu.com akan bahas tentang tasawwuf yang menjadi proses meraih mah’rifat Tuhan dengan jalan maqomat taubad dan sabar. Diaman tasawwuf merupakan salah satu ajaran dalam islam yang menitik beratkan pada kerohanian seorang hamba atau manusia, yang dimana fitrah dari manusia bisa menjadi hamba yang memiliki perilaku yang mulia. Dangan jalan tasawwuf seorang hamba bisa tau tata cara pembersihan diri dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta dengan jalan yang baik dan benar. Sedangkan pengertian dari maqomat dari segi etimologi yang berasal dari bahasa arab yang berasal dari jamak maqam berarti tempat orang yang berdiri atau pangkal mulia. Maka dapat diartikan bawasannya para sufi harus melakukan suatu perjalanan yang panjang untuk dekat dengan Allah SWT. Sedangkan maqomat dalam bahasa inggris di kenal dengan stages berarti tangga.

Al-Suhrawardi mendifinisikan maqomat yang terdapat dalam kitabnya Adab al-Muridin, yang dimana menjelaskan tentang posisi seorang hamba dalam beribadah kepada Tuhannya. Maqomat ini digunakan untuk pemula, yang dibagi menjadi diantaranya yaitu menjaga dari kelalaian, lalu bertaubatan nasuha (sunguh-sunguh), dengan jalan kembali (inabah), penjagaan moral (wara’), pengujian jiwa (muhasabat al-nafs), ilham (iradah), penolakan (zuhd), kefaqiran (faqr), kejujuran (shidq), dan menahan diri (tashabbur). Lalu yang harus dilakuakn bagi pemula ialah menjaga kesabaran (shabr), kepuasan (ridha), ikhlas, yakin pada Allah SWT (tawakkul). 

A. Pengertian Maqomat Dalam Dunia Tasawuf
Maqom adalah kedudukan atau tahapan seorang sufi berada. Kedudukan ini hanya akan didapat oleh seorang sufi atas usahanya sendiri dengan penuh kesungguhan dan istiqomah.[1] Pengertian Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations atau stages. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat dan lain-lain, latihan spritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah swt. atau secara teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah swt. dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyaini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai spirituanya di hadapan Allah swt.[2] 

Dalam rangka meraih derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk melampaui tahapan-tahapan spiritual, memiliki suatu konsepsi tentang jalan (tharikat) menuju Allah swt., jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang dalam tradisi tasawuf dikenal dengan maqam (tingkatan). Perjalanan menuju Allah swt. merupakan metode pengenalan (makrifat) secara rasa (rohaniah) yang benar terhadap Allah swt. Manusia tidak akan mengetahui penciptanya selama belum melakukan perjalanan menuju Allah swt. Walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliyah. Sebab, ada perbedaan yang dalam antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (al-iman al-aqli an-nazhari) dan iman secara rasa (al-iman asy-syu'ri-adzauqi).Tingakatan (maqam) adalah tingkatan seorang hamba di hadapan Allah tidak lain merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap, inilah yang membedakan dengan keaadaan spiritual (hal) yang bersifat sementara.[3] Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Maqomat adalah jalan pendekatan diri, atau bisa disebut juga dengan penyucian diri.[4]

B. Maqamat Taubat dan sabar
1.》 Pengertian Taubat
Secara etimologi, taubat berasal dari bahasa Arab. Yaitu dari kata ت وب ة – ي توب – ت اب yang artinya kembali dari maksiat kepada taat. Secara terminologi islam arti taubat adalah meninggalkan maksiat dalam segala hal, menyesali dosa yang pernah di perbuat dan tidak mengulanginya kembali. Dalam bahasa indonesia taubat disebut dengan tobat. Sedangkan dalam KBBI arti taubat adalah dengan sadar dan menyesal akan dosanya dan berniat untuk memperbaiki perilaku yang dilakukannya. Diartikan juga kembali kepada agama dan jalan yang benar.[5]

Taubat menurut istilah para sufi adalah kembali kepada ketaatan dari perbuatan maksiat, kembali dari nafsu kepada haq (jalan kebenaran). Dalam kitab at-ta‟rifāt dijelaskan bahwa taubat adalah kembali kepada Allah dengan melepaskan ikatan yang membungkus hati (mengekang) kemudian bangkit menuju (memenuhi) hak Rab (Tuhan). Sementara itu Zunnun al-Misri membagi bahwa taubat orang awam dari dosa, taubat orang khusus dari kelalaian dan taubat para nabi ketika melihat kelemahannya dalam ibadah dibandingkan dengan keberhasilan yang dicapai. Sahl at-Tustari pernah ditanya apakah taubat itu? jawabnya: Taubat itu maksudnya ialah jangan lupa terhadap dosamu. Jawaban Sahl ini mengisyaratkan bahwa dalam bertaubat kita harus menyadari sungguh–sungguh akan dosa yang dilakukan baik terkait dengan Allah atau kaitannya dengan manusia lain dan selalu mengharap ampunan Allah bahkan terhadap dosa apapun yang harus dihindari.[6] Al-taubah adalah langkah yang harus di tempuh untuk mencapai makhrifat, kecendrungan kaun sufi melakukan perbuatn baik, termaksud taubah bukan atas dasar takut siksaan neraka atau kehendak memperoleh pahala surga, melainkan semata-mata Karena cinta dan rindunya kepada Allah Swt. Ada tiga macam taubah:
a) Al-taubah bagi orang awam, yaitu menyesali dan meninggalkan
dosa - dosa lahir, seperti pembunuhan, zina, pencurian dan sebagainya.
b) Al-taubah bagi orng khawwas, yaitu menyesali dan meninggalkan dosa - dosa batin, seperti kesombongan, keangkuhan dengki dan sebagainya.
c) Al-taubah bagi orang khawwas al - khawwas, yaitu menyesal
dan meninggalkan perbuatan lalai dari zikir, Karena keistimewaan gologan ini adalah batinnya selalu ingat akan Allah swt.[7]

》 Dalil Tentang Taubat
Sehubungan dengan perintah bertaubat, ditemukan ayat yang ditujukan Allah kepada orang beriman dengan menekankan tentang taubat murni yang terdapat dalam ayat 8 surat at- Tahrīm (66).[8]

Yang Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. At-Tahrim 66: Ayat 8)

Mengenai makna taubat nasuha dikemukakan dalam tafsir Sa„id Hawwa: Taubat yang benar atau yang murni. Ibnu Kasīr mengatakan dengan taubat yang benar dan memutuskan maksudnya menghapus kesalahan-kesalahan sebelumnya. Menghimpun yang terserak atau mengumpulkannya dan menghapuskan segala perbuatan yang hina.

Istilah taubat nasuha dalam ayat diatas dimaknai oleh Sa’id Hawwa yaitu taubat sadiqah (jujur, benar) dan khalisah (murni, bersih, tulus). Selanjutnya dijelaskannya dengan mengutip Ibnu Kasir bahwa taubat nasuha adalah taubat yang menghapus kesalahan yang lewat. Berbagai kekusutan ataupun kesalahan yang membuat diri terhina dan rendah lalu dihimpun dan menjadi terhapus dengan taubat. Artinya taubat tersebut berfungsi menghilangkan dan menghapus kesalahan. Taubat juga dipahami dapat memutus rangkaian dosa ibarat memutus tali yang mengikat suatu benda. Apabila ujung tali dekat benda tersebut dipotongmaka tidak ada lagi hubungan tali dengan benda tersebut. Begitulah tujuan yang dikehendaki dari taubat nasuha.

Selanjutnya dijelaskan oleh Sa„id Hawwa dengan mengutip tafsir an-Nasafī: Dan yang dimaksud juga adalah taubat yang memberi pengaruh pada manusia lain. Artinya dengan bertaubat, dapat mendorong orang lain agar mengikuti seperti demikian karena pengaruhnya tampak nyata dalam kehidupan orang yang bertaubat itu sendiri. Merealisasikan taubat dalam perilaku yang ditunjukkan dalam aktifitasnya dengan kesungguhan dan keinginan kuat. [9]

Taubat seperti ini secara langsung memberi pelajaran kepada manusia karena pengaruhnya jelas bagi pelaku taubat dengan niatnya yang bulat dan ditunjukkan dengan amal saleh yang dapat disaksikan. Orang yang betul–betul bertaubat tidak hanya memberi manfaat kepada dirinya sendiri tapi orang lain merasa terajak karena prilaku yang ditampakkannya setelah melakukan taubat. Pengertian dari penafsiran Sa„id Hawwa ini menunjukkan bahwa prinsip dalam tasawufnya ingin membangun manusia yang berhati bersih dan dekat dengan Tuhan secara kolektif. Proses untuk membentuk masyarakat supaya berhati suci dan merasakan dekat dengan Tuhan menurut Sa„id Hawwa tidak perlu mengambil jalan tarikat. Ia menginginkan tasawuf seperti yang dilakukan para salafi dengan berpedoman pada al-Qur‟an dan Sunnah.[10]

2. 》Pengertian Sabar 
Secara harfiah, sabar artinya tabah hati. Di kalangan para sufi, sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya, dan dalam menerima segala percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita. Sabar merupakan salah satu dari sekian maqamat untuk menuju kepada ma‟rifat. Dengan kesabaran seseorang akan menjadi lebih terang hatinya sehingga lebih mudah dalam meyakini ke-Agungan Allah.[11] 

Sabar merupakan maqam atau kedudukan spiritual yang harus dilalui oleh seorang yang menjalani sufi. Di dalam Al-Qur‟an banyak ayat yang memerintahkan manusia agar bersabar dan Allah memuji orang-orang yang bersabaer tersebut. Allah berfirman: “Hanyalah orang-orang yang bersabar yang akan disempurnakan pahalanya tanpa terbatas” (QS. Az-Zumar: 10). “Kedudukan spiritual sabar adalah kedudukan spiritua yang mulia” (As-Sarraj (2009: 102). Untuk menguatkan pendapatnya, ia mengemukakan pandangan para sufi tentang sabar tersebut. Menurutnya, Al-Junaid pernah ditanya tentang sabar, kemudian ia menjawab: “Sabar ialah memikul semua beban berat sampai habis saat-saat yang tidak diinginkan”. Ibrahim Al-Khawwas berkata: Sebagian besar manusia lari dari memikul beban berat sabar. Kemudain mereka berlindung diri pada berbagai sarana (sebab) dan pencarian, bahkan mereka bergantung padanya seakan-akan sesuatu tersebut yang bisa memberinya. Ada sesorang yang datang kepada Asy-Syibli dan bertanya: Sabar yang mana yang sangat berat bebannya bagi orang-orang yang bersabar. Asy-Syibli menjawab, “Sabar pada Allah” (fillah). Orang itu menjawab, “tidak”. Asy-Syibli menjawab lagi, “Sabar karena Allah” (lillah). Ia berkata lagi, “tidak”. Asy-Syibli menjawab lagi, “sabar bersama Allah” (ma‟alah). Ia pun berkata, “tidak”. Akhirnya Asy-Syibli marah dan balik bertanya, “celaka kau”, kalau begitu apa? Orang itu menjawab, “sabar dari Allah” („anillah).[12] 

Dalam perspektif tasawuf sabar berarti menjaga menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu separoh dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. 

Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya. Menurut al-Sarraj sabar terbagi atas tiga macam yaitu: 
a). Orang yang berjuang untuk sabar.
b). Orang yang sabar.
c). Orang yang sangat sabar.[13]
 
》Dalil Tentang Sabar 
Di dalam Al-Qur”an disebutkan berbagai jenis kesabaran yang utama, diantaranya : 
a). Sabar dalam menghadapi berbagai cobaan di dunia 
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (Qs. Al-Balad : 4) 
b). Sabbar untuk tidak memperturutkan yang diinginkan oleh hawa nafsu. Sehubung dengan hal ini, Allah SWT. Telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang mengerjakan hal terseebut maka sungguh mereka itu termasuk golongan orang yang merugi.” (Qs. Al-Munafiqun : 9) 
c). Tetap bersabar, tidak pernah melirik pada kesenangan yang dimiliki oleh orang lain dan tidak terperdaya oleh harta serta anak-anak yang dimiliki oleh mereka. 
d). Sabar dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah. Hal ini merupakan jenis sabar yang paling besar dan yang paling berat dirasakan oleh jiwa manusia. 
e). Sabar dalam menanggung derita menyeru manusia kejalan Allah Swt. Karena sesungguhnya tidak samar lagi dari setiap keadaan yang dialami manusia pada masa sekarang, kini mereka mulai menjauh dari agama. Keadaan seperti ini jelas menuntut terselenggaranya dakwah yang besar, protes yang keras terhadap segala bentuk kemungkaran, dan usaha yang giat tak kenal lelah untuk menegakkan kebenaran. 
f). Sesungguhnya disana terdapat jenis kesabaran yang sangat diperlukan pada saat yang menegang, saat dalam peperangan, saat berhadapan dengan musuh, dan saat bertarungnya dua barisan dalam kacah peperangan, saat menghadapi orang-orang yang melawan Allah maka sabar merupakan syarat utama untuk meraih kemenangan dan lari dari medan perang adalah dosa besar. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti tersebut Allah Swt. Mewajibkan untuk teguh dan pantang mundur.[14]

Sikap sabar sangat dianjurkan dalam ajaran al-Qur‟an, Allah berfirman; 

Yang Artinya: Bersabarlah dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (QS. An-Nahl: 127).[15]

Sabar berarti tabah dalam menghadapi segala kesulitan tanpa ada rasa kesal dan menyerah dalam diri. Dalam hal ini tidak hanya mengekang keinginan nafsu dan amarah tetapi juga mampu menahan terhadap penyakit fisik. Sabar juga dapat dipahami sebagai sikap tabah, tekun dan tangguh dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai problema hidup. Tidak ada orang yang sukses tanpa kesungguhan dan keuletan serta ketangguhan untuk meraihnya.

Dengan sikap sabar, seseorang tidak mudah putus asa, tidak cepat menyerah ketika belum berhasil. Bahkan seorang yang memiliki sikap sabar tidak larut dalam kesedihan ketika terkena musibah, ia akan cepat bangkit untuk menatap masa depan yang lebih cerah.[16] Pembagian Sabar, sabar dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
a). Sabar terhadap maksiat
Yaitu menhan diri untuk menghindari perbuatan jahat, dan dari perbuatan hawa nasu, dan menghindarkan diri dari, semua pebuatan yang mempunyai kemungkinan untuk terjerumus kedalam jurang kehinaan. 
b). Sabar dalam menghadapi ibadah 
Sabar dalam menghadapi ibadah, dasarnya ialah prinsip-prinsip islam yang sudah lazim, pelaksanaanya perlu latihan yang tekun dan terus menerus, seperti latihan shalat, ini merupakan kewajiban yang memerlukan kesabaran.
c). Sabar dalam menahan diri dari kemunduran
Yaitu menhan diri dari surut kebelakang dan tetap berusaha untuk mempertahankan sesuatu yang telah di yakininya, misalnya pada saat membela kebenaran, melindungi kemaslahatan, mempertahankan harta dari perampok, menjaga nama baik.

C. Taubat dan Sabar Menurut Para Tokoh Sufi 

1. Taubat Menurut Tokoh Sufi
a). Imam Al-Ghazali
Beberapa konsep taubat yang diterangkan dalam kitab Minhajul „Abidin karya Imam al-Ghazali: Imam al-Ghazali berpendapat bahwa, taubat adalah suatu usaha dari beberapa pekerjaan hati. Singkatnya, menurut para ulama, taubat itu ialah membersihkan hati dari dosa. Guru kami Rahimahullah berkata, taubat itu adalah tidak lagi mengerjakan dosa yang pernah dikerjakan, maupun segala dosa yang setingkat dengan itu, dengan niat mengagungkan Allah dan takut akan murka-Nya.[17]

Imam al-Ghazali menekankan bahwa, para pelaku ibadah diharuskan untuk ber-taubat karena dua hal:
a. Supaya berhasil memperoleh pertolongan untuk mencapai ketaatan. Karena pembagai perbuatan dosa dapat melahirkan kesialan dan mengakibatkan kemalangan bagi pelakunya. Selain itu, perbuatan dosa juga bisa menghambat upaya kita untuk mematuhi dan mengabdi kepada Allah Swt., karena tumpukan dosa yang terus menerus dilakukan, akan dapat membuat kalbu menjadi hitam, sehingga yang didapat hanyalah kegelapan, kekerasan, tiada keikhlasan, kelezatan dan kesucian.jika saja Allah Swt. tidak memberikan anugerah dan rahmat-Nya, niscaya dosa-dosa itu akan mengantarkan pelakunya menuju kekufuran dan kesengsaraan. Sebab, bagaimana mungkin akan memperoleh petunjuk untuk melakukan ketaatan, sementara dia berada dalam kenistaan dosa dan kekerasan hati? Bagaimana mungkin bisa mengklaim diri sebagai seorang hamba yang mengabdi, sementara dirinya bergelimang dosa dan kemaksiatan? Bagaimana mungkin bisa mendekatkan diri dengan cara bermunajat kepada-Nya, sementara tubuhnya dilumuri oleh kotoran-kotoran dan najis yang menjijikkan? Dalam hal ini, tidak ada salahnya, jika kita mengingat kembali sabda Rasulullah Saw.:“Jika seorang hamba berbuat kebohongan, niscaya dua malaikat (baca: Raqib dan „Atid) akan menjauhinya, karena tidak tahan mencium aroma busuk yang keluar dari mulutnya.”

Maka dari itu, bagaimana mungkin lisan ini dapat mengingat Allah Swt. Yang Maha Agung dan Maha Mulia, padahal tidak pernah ditemukan seseotang yang senantiasa bergelimang dosa dan kemaksiatan mendapatkan petunjuk dari Allah dan merasakan kemudahan untuk mengabdi kepada-Nya? Jika pun ada yang memperoleh petunjuk Allah Swt., namun masih tetap bergelimang dosa dan kemaksiatan, tentu dia tidak akan merasakan kenyamanan dan kesucian dalam hidupnya. Semua ini diakibatkan karena keburukan perbuatan dosa yang dilakukannya dan dia pun tidak bertobat. Dalam hal ini, benar sekali pendapat Fudhail bin „Iyadh yang mengatakan, bahwa “jika engkau tidak mampu melaksanakan shalat malam dan tidak kuasa berpuasa di siang hari, maka sadarilah bahwa pada saat itu engkau telah terbelenggu oleh semua perbuatan dosa yang kaulakukan.

Supaya semua amal ibadahmu diterima oleh Allah Swt., sebab si piutang tidak akan pernah mau menerima hadiah, jika tanggungan si piutang tidak akan pernah mau menerima hadiah, jika tanggungan hutang belum dilunasi. Demikian halnya bertobat dari segala perbuatan maksiat, dan meminta ridha dari lawan seterunya adalah suatu kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Adapun seluruh amal ibadah yang lainnya merupakan perbuatan nafl (sunah). Oleh karena itu, bagaimana mungkin Allah akan menerima dermamu, padahal kamu masih mempunyai hutang yang telah jatuh tempo namun belum engkau lunasi. Bagaimana mungkin, demi-Nya, kamu berani meninggalkan perkara yang halal dan mubah, padahal pada waktu yang bersamaan, kamu masih terus melakukan perkara-perkara yang haram dan dilarang-Nya. Bagaimana mungkin kamu masih terus berani meminta, berdoa, dan memuji-Nya, padahal Dia masih murka kepadamu, kami berlindung kepada Allah dari siksa murka-Nya. Demikian ini adalah potret kondisi orang-orang yang bergelimang kemaksiatan. Dia-lah tempat meminta pertolongan.[18]

b). Rabi‟ah Al-Adawiyah
Taubat (taubah) adalah tahap pertama dalam Jalan menuju Tuhan. Di dalam al-Qur‟an hukuman hanya diberikan kepada orang yang berdosa, “Kecuali bagi mereka yang bertaubat (setelah pelanggarannya) dan merasa yakin bahwa Allah akan memaafkan, Allah Maha Pengampun.” Meskipun demikian terdapat juga banyak taubat yang tidak diterima, “Bagi mereka yang tidak beriman setelah keimanan mereka, dan bertambah pula pengingkarannya, maka taubat mereka tidak akan diterima dan mereka akan sia-sia.”

Hakikat taubat menurut arti bahasa adalah “kembali”. Kata taba berarti kembali, maka taubat maknanya juga kembali. Artinya, kembali dari sesuatu yang dicela dalam syari‟at menuju sesuatu yang dipuji dalam syari‟at. Bisa juga diartikan taubat (yang berarti kembali) adalah bagi orang berdosa, berarti kembali kepada Allah, ketaatan kepada Allah, dan Allah juga akan menampakkan melalui takdir-Nya menerima pertaubatan itu.[19]

Taubat menduduki maqam yang pertama, karena dosa itu dinding antara manusia dan Tuhannya. Jadi, Taubat adalah bagian terpenting dalam kehidupan menuju Allah. Tidak ada ibadat yang benar apabila tidak disertai rasa pertaubatan. Taubat pun juga mempunyai beberapa tingkatan:
a.Tingkat pertama dari taubat adalah dengan membiarkan seseorang merasa bersalah dan menyesali perbuatannya secara mendalam.
b. Tingkat kedua, penyesalan (taubat) berarti menghapuskan kebiasaan masa lalu serta perilaku yang terus diulang oleh seseorang.
c. Tingkat ketiga, menekankan bahwa bertaubat berarti membebaskan seseorang dari kecenderungan untuk tidak adil, rasa permusuhan, serta terhapusnya dorongan prasangka yang merusak.[20]

c). Dzun Nun Al-Mishri
Taubat pada hakikatnya adalah seseorang merasa bumi yang luas ini semit, demikian juga dengan diri atau hatinya, dan meyakini bahwa tidak ada tempat berlindung dari siksa Allah kecuali kembali kepada-Nya.[21]

Dzun Nun Al-Misri mengatakan, “Meminta ampun dari dosa tanpa menanggalkan dosa tersebut, merupakan tobat para pendusta. Barang siapa bertobat, kemudian tidak melanggar atau memutus tobatnya, maka ia termasuk orang yang bahagia. Jika ia melanggar satu atau dua kali, lalu memperbarui taubatnya, maka diharapkan ia nantinya akan semakin bisa menjaga taubatnya, sebab segala sesuatu sudah ada ketentuannya.”[22]

Al-Misri membagi taubat menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Orang yang bertaubat karena dari dosa dan keburukannya;
b. Orang yang bertaubatdari kelalaiannya dan kealfaannya dalam mengingat Tuhan;
c. Orang yang bertaubat karena memandangkebaikan dan ketaatannya.[23]

2. Sabar Menurut Tokoh Sufi
Sabar dalam pandangan para sufi diantaranya berati tabah di dalam mneghadapi segala kesulitan tanpa ada rasa keasal dalam diri. Sabar juga berarti tetap merasa cukup meskipun relitasnya tidak memiliki apa-apa.

a). Al-Ghazali membagi sabar berdasarkan tingkat pengendalian nafsu dalam diri manusia, yaitu terbagi menjadi tiga tingkatan:
a. Orang yang sanggup mengalahkan hawa nafsunya karena ia mempunyai daya juang yang tinggi.
b. Orang yang kalah oleh hawa nafsunya, ia telah mencoba bertahan atas dorongan hawa nafsunya, tetapi karenya kesabaranya lemah maka ia kalah.
c. Orang yang mempunyai daya tahan terhadap dorongan nafsu tapi suatu ketika ia kalah karena besarnya dorongan nasu. Meskipun demikian, ia bangun lagi dan terus bertahan dengan sabar atas dorongan nafsu tersebut.[24]

b). Dzun Nun al-Misri, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya bearda dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.

c). Al-Kalabadzi, mengatakan bahwa sabar adalah pengharapan akan kesenangan atau kegembiraan dari Allah, dan ini merupakan pengabdian yang paling mulia dan paling tinggi. Tetapi sabar pada tingkat yang lebih tinggi adalah ‟sabar atas kesabaran‟ maksudnya seseorang tiak seharusnya mencari kesenangan atau kegembiraan apa pun.[25]

My Refleksi
Fitrah dari manusia itu bisa berupa ketaatan ataupun berupa berbuat kerusakan atau maksiat di muka bumi ini. Dimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan hambanya Ujian-ujian kehidupan yang beragam beraneka ragam pada hambanya di mana tugas sampai disini untuk berikhtiar, Istiqomah, dan tawakal ke hal yang positif baik berupa perbuatan Amalia sesama individu, alam maupun Tuhannya. Dan setiap siswa memiliki cara tersendiri untuk mendekatkan diri pada Sang Penciptanya agar segera rahmat dan maghfirah-Nya selalu tercurahkan padanya. Jalan untuk mendapat rahmat dan Maghfiroh-Nya dari segala perbuatan maksiat berupa taubat nasuha karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala Maha Pengampun (Al-Ghoffar) dan Maha Pemaaf (Al-affwu).

Mahqomat Taubat ialah resep mendekatkan diri seorang hamba pada Sang Pencipta. Menurut Al-Ghazali maqomat taubat itu kembali minimal setiap hari 17 kali dalam sehari kita tau harus mengikuti pemimpin. Taubat itu yang pertama adalah menyesali tidak ada niat untuk mengulang kembali penting ada niat untuk kembali kepada suatu yang terpuji.

Setelah memutuskan untuk bertaubat sikap kita sebagai hamba harus sabar menjalankan segala ujiannya baik itu yang berupa ujian kehidupan maupun segala kenikmatan yang Tuhan anugerahkan kepada hambanya. apabila kita bisa lolos dalam kesabaran maka tujuan dari Taubat kita berhasil. Sesuai dengan janji Allah subhanahu wa taala dalam FirmanNya "Barangsiapa yang sabar, maka baginya surga."

Bentuk menahan hawa nafsu dan perbuatan keji adalah sabar. dimana sabar ini baik berupa dalam ibadah, ibadah bisa diterima apabila kita dalam menjalankannya tidak tergesa-gesa dalam rukun dan syarat ibadahnya. kemudian sabar dalam ujian kehidupan seperti yang tertuang pada Quran surat al-baqarah : 155 yang menganjurkan mengucapkan "innalillahi wa Innalillahi roji'un" dalam kekurangan harta benda makanan (buah) dan kehilangan jiwa Karena pada dasarnya semua yang ada di muka bumi ini dan segala isinya hanyalah milik Allah  dan akan kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Dan yang terakhir kita harus bersabar akan dunia, di mana kita dianjurkan sabar dan mawas diri pada segala hal yang di suguhkan di dunia ini baik kenikmatan Harta, tahta, dan wanita karena kita tak abadi di muka bumi ini maka kita harus ingat dan mempersiapkan kehidupan yang Hakiki Berupa menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.


Teruntuk Rabb-ku

Terima kasih Tuhan atas segala cinta dan kasihmu padaku.
Kau mendewasakanku dengan cara yang sederhana namun indah.
Awalnya Kau ajak aku menyusuri kegelapan dan kesemuan, perlahan dan pasti Kau ajari aku melangkah menuju cahaya yang begitu terang benderang.
Mungkin suatu keajaiban bagi seorang hamba yang tak berdaya dan hina ini ada disuatu titik kesempurnaan dari seorang hamba.
Kau mengajariku cara mencintai yang Hakiki seperti cinta kekasih-Mu pada umat ini.
Dan segala kata yang tak pernah ku ucap atas segala rahmat dan Maghfiroh mu dari segala langkahku yang pernah pergi dan menghiraukan apa yang kau ridhoi.

Secarik kata dari hamba teruntuk Tuhan pemilik kata yang tak bisa diartikan dengan segala keindahan sastra bahasa.
@rilis_wahyu

Sekian blog kali ini, thanks buat sahabat baca...sukses selalu

Catatan Kaki:
1. Dian Andriyani, "MAQAM-MAQOM DALAM TASAWUF RELEVANSINYA DENGAN KEILMUAN DAN ETOS KERJA", Jurnal Suhuf, Vol. 30, No. 2, 2018,hlm. 169.

2. Syamsun Ni'am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014), hlm. 137.

3. Ahmad Bangun dan Rayani Hanum, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 47.

4. Eni Zulaiha, SPIRITUALISTAS TAUBAT DAN NESTAPA MANUSIA MODEREN, Jurnal Al - Qulub, Vol. 02, No. 02, 2018, hlm. 98.

5. Ahmad Arif Zunaidi, Konsep Taubat dan Implementasinya Menurt Perspektif Imam Nawawi, ( Semarang: UIN Wali Songo), 2018, hlm. 15.

6. Septiawadi, TAFSIR SUFISTIK TENTANG TAUBAT DALAM AL-QUR‟AN, Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 7, No. 2, 2013, hlm. 365.

7. Ahmad Badwi, METODE DALAM MENCAPAI KESUFIAN (Perkembagan Tasawuf dan Maqamat dalam ilmu Tasawuf), Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 3,No. 1, 2017, hlm. 104.

8. Septiawadi, Op-Cit, hlm. 365.

9. Ibid.

10. Ibid. hlm. 366-367.

11. Hana Widayani, “MAQAMAT (TINGKATAN SPIRITUALITAS DALAM PROSES BERTASAWUF)”, Jurnal El-Afkar. Vol. 8, No. 1, Januari-Juni 2019. Hlm. 16.

12. Fahrudin, “Tasawuf Sebagai Upaya Membersihkan Hati Guna Mencapai Kedekatan Dengan Allah”. Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol.14 No.1, 2016, hlm.76.

13. Valeria Pramita, “MAQAM, AHWAL, MANNAZIL DAN MADARIJ” (Padang : IAIN Imam Bonjol), 2014. Hlm. 7.

14. Istiwasi‟aturrohmi, “MAQAM-MAQAM DALAM TASAWUF”, http://istiwasiaturrohmi.blogspot.com/2016/03/maqam-maqam-dalam-tasawuf.html?m=1 (Diakses pada 9 Oktober 2020, pukul 10.30).

15. Op-Cit.

16. Dian Ardiyani, “MAQAM-MAQOM DALAM TASAWUF RELEVANSINYA DENGAN KEILMUAN DAN ETOS KERJA”, Jurnal SUHUF. Vol. 30. No. 23, November 2018.Hlm. 171.

17. Ali Ridho, “KONSEP TAUBAT MENURUT IMAM AL-GHAZALI DALAM KITAB MINHAJUL „ABIDIN”, Jurnal Aqidah-Ta Vol. V No. 1, 2019, hlm. 36-37.

18. Ibid. hlm. 37-38.

19. Alfa Mardiyana, “LANDASAN QUR‟ANI AJARAN SUFISTIK RABI‟AH AL ADAWIYAH”, Jurnal Kontemplasi, Vol. 06, No. 02, Desember 2018, hlm. 213.

20. Ibid, hlm. 214.

21. Syamsuddin Ar-Razi, Menyelami Spiritualitas Islam: Jalan Menetukan Jati Diri, (Alifia Books, 2019), hlm. 2.

22. Ibid. hlm. 6.

23. Sahri, “Kontruk Pemikiran Tasawuf: Akar Filosofis Upaya Hamba Meraih Derajat Sedekat-dekatnya dengan Tuhan”, (Pontianak: IAIN Pontianak Press, 2017), hlm. 152.

24. Asep Usmani Ismail. 7 Metode Menjernihkan Nurani, (Jakarta: Mizan Publika), 2005.

25. Hana Widayani, Op-Cit, Hlm. 16.

@Rilis_Wahyu
#rilisyanglagirindu
#jangankautanyasiapakarnaakupuntaktau;'(

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), Dan Indikator Pembelajaran Mata Pelajaran Aqidah Akhlak MTs

Kompetensi Inti (KI), Kompetensi Dasar (KD), Dan Indikator Pembelajaran Mata Pelajaran Aqidah Akhlak MI